Beberapa waktu lalu kita dapat paket kiriman dari kakak ipar saya yang pramugari, kebetulan lagi ada flight ke Tokyo jadi kita nitip beberapa barang. Paketnya berisi beberapa bumbu instant, kecap manis, baju & minyak telon buat Mye. Di dalam paket juga ada surat2 buat suami saya & ada artikel dari koran yang di gunting sama ibu mertua saya judulnya “Doktor Kita Emoh di Sini”. Kurang tau dari koran apa pada tanggal berapa karena gak ada keterangannya, tapi yang nulis artikelnya adalah Ahmad Sahidah, PhD, staf peneliti pascadoktoral Univ. Sains Malaysia. Rupanya beliau nulis itu sebagai tanggapan dari pernyataan Mendiknas bahwa dari 270.000 dosen yang ngajar di perguruan tinggi kurang dari 10%nya yg bergelar Doktor dan Kemendiknas berencana meningkatkan hingga 20% pada 2014. Padahal sebenarnya banyak sekali doktor kita yang lulusan luar negeri & akhirnya pada milih kerja di negara lain, seperti negara tetangga kita Malaysia atau Singapura. Dijelaskan dalam artikel tersebut bahwa doktor2 tersebut akhirnya milih untuk kerja di luar Indonesia karena kurangnya penghargaan (terutama dari segi penghasilan) dan tidak adanya respon yang positif disaat doktor2 tersebut melamar menjadi dosen di institusi2 pendidikan di Indonesia.
Kenyataannya emang begitu. Suami saya sendiri yang ngalamin hal serupa. Setelah menghabiskan 10 tahun di Belanda (S2 , S3 & postdoctoral) dia masih berpikir idealis mau balik ke Indonesia untuk mengabdi buat Indonesia. Kebetulan suami waktu itu beasiswanya dapat dari pemerintah Belanda & gak ada ikatan dinas dengan institusi apapun di Indonesia. Dengan positive thinking bahwa salah satu universitas negeri di Indonesia bakal ada yang mau menampung dia, sesampainya di Indonesia mulailah dengan semangat dia dari nol ngelamar ke universitas2 negeri yang ada di pulau Jawa. Yang pertama dia kunjungi ya almamaternya sendiri, sebuah institut teknologi negeri di daerah Jawa Barat. Tapi pas disana ternyata penyambutannya yaaa… gitu2 ajah… yang ada malah bilang ke suami saya “kenapa mau balik? Gak cari diluar lagi aja?”. Walaupun pada akhirnya mereka bilang nanti bakal dikabarin kalau ada penerimaan dosen baru. Hmmm… kalau kaya gini responnya kayanya mending gak usah diarepin deh.
Setelah beberapa lama ada teman suami yg dulu bareng di Belanda, sekarang menjadi staf pengajar di universitas negri di daerah Jawa Tengah, dia menawarkan posisi untuk jadi dosen disana. Ya suami saya pasti mau aja lah. Temannya memang sangat baik mempromosikan suami saya ke teman2 dosennya yang lain, ke kepala jurusan (kajur), mau atur waktu supaya suami saya bisa jadi dosen tamu & ketemu sama kepala jurusan juga. Pas di awal ternyata responnya positif dari beberapa dosen disana, bahkan ada yang sangat mendukung suami saya untuk ngajar disana & mau kasih rekomendasi secara pribadi. Suami saya jadi semangat beli tiket kereta & bikin slide utk presentasi . Eh ternyata pas hari H disana dosen2 malah gak ada, bahkan kajurnya aja gak ada katanya rapat mendadak. Padahal kan hari itu udah dijadwalkan dari 1 bulan sebelumnya. Suami saya merasa sangat kecewa, meskipun tetap bisa jadi dosen tamu, tapi gak bisa ketemu kajur, gak ketemu dosen2 lainnya. Padahal disaat dia harus kesana itu, saya pas lagi sakit, waktu itu demam tinggi sampai ampir 40 derajat, ibu mertua kebetulan gak ada dirumah untuk jaga, akhirnya ibu saya jauh2 datang untuk jaga saya & anak saya. Waktu itu suami saya hampir batalin rencana perjalanannya karena bingung saya tiba2 sakit, tapi saya bilang kan sayang itu kesempatan besar. Eeehhhh tapi ternyataaaaa... Suami saya sampai rumah ya tiba2 marah, merasa sangat kecewa karena di negara lainpun dia gak pernah diperlakukan seperti itu oleh sebuah institusi pendidikan. Udah jauh2 datang, pakai biaya sendiri (kalau di negara lain, kalau kita yang diundang biasanya kita dibayarin transportnya), udah persiapan macem2, ninggalin anak & istri yg sakit... tapi gak ada hasil apa2.
Tujuan terakhir suami saya adalah universitas negeri di daerah Depok, Jawa Barat, yang dulu tempat almarhum bapaknya suami saya mengabdi. Disana bapak sempat jadi dekan di FMIPA. Yah tapi seperti universitas2 lainnya yang dia kunjungin sebelumnya ya gitu deh responnya... gak jelas... Dijanjiin mau diundang untuk presentasi tapi gak ada panggilan2 juga.
Belum lagi suami saya harus dengerin komen2 temen2nya yang ngomong seenaknya aja seperti bilang “lo minta gajinya tinggi sih ya gak dapat”. Ya ampun, padahal kita mah digaji berapa juga ya pasrah aja, namanya juga PNS. Atau komen lain seperti “lo pas disana gaya lo songong kali jadi pada gitu”. Emangnya suami saya gak tau etika dalam melamar pekerjaan apa?? Koq melamar kerja berlaga sombong, ya gak mungkin lah.
Disaat2 kaya gitu, suami saya malah dapat respon yang cepat dari Malaysia, Korea & Jepang. Yang paling cepat ya yang di Jepang ini karena langsung manggil untuk wawancara. Yang dari Korea malah agak aneh sih, malah langsung terima suami untuk kerja. Yang dari Malaysia minta kirim CV & fotokopi dokumen2 pendukung lewat pos. Pada akhirnya suami saya ambil yang di Jepang ini, walaupun disaat terakhir udah mau berangkat ke Jepang eh ada lagi dari New Zealand manggil untuk wawancara tapi ya udah gak mungkin karena kita udah mau berangkat ke Jepang.
Waktu itu suami saya 6 bulan nganggur, luntang lantung sambil nunggu respon dari sana sini, cuma di rumah aja, gak punya gaji & akhirnya ya 6 bulan itu kita hidup dari nguras tabungan. Merasa kecewa tidak dihargai bahkan oleh almamaternya sendiri. Jadi buat Mendiknas yang bilang kalau Indonesia kekurangan doktor itu salah besar!!! Bohong besar!!! Kalau bilang para doktor itu gak mau mengabdi pada Indonesia itu juga salah besar!!! Masalahnya itu ada pada institusi2 di Indonesia yang gak bisa menghargai orang2 seperti suami saya & para doktor2 lulusan luar lainnya. Terlihat jelas kalau para dosen2 yang udah lama di institusi2 tersebut itu pada takut tersaingi oleh para tenaga2 muda yang punya ide2 baru & fresh!!! Negara macam apa yang gak bisa menghargai tenaga2 mudanya?? Gak heran kalau sekarang ini Indonesia malah kalah jauh sama Malaysia & Singapura. Saat ini banyak banget doktor lulusan luar yang baru lulus dan sedang mencari kerja, jadi buat Kemendiknas, buka mata, pasang telinga, buka hati & buka peluang sebesar2nya buat mereka, jangan hanya ngomong saja kalau mau memajukan pendidikan di Indonesia & jangan cuma bisa ngibul!!!
Taken from my Facebook notes published on Tuesday, Feb 1, 2011
Taken from my Facebook notes published on Tuesday, Feb 1, 2011
No comments:
Post a Comment